Payung Teduh Aku Ingin Berdua Denganmu
Diterbitkan oleh Good Stuff
Penulis amatiran yang mencoba menjadi ekspert Lihat semua pos milik Good Stuff
Can You Chip In?Dear Patron: Please don't scroll past this. The Internet Archive is a nonprofit fighting for universal access to quality information. We build and maintain all our own systems, but we don’t charge for access, sell user information, or run ads. Instead, we're powered by online donations averaging $15.58. We'd be deeply grateful if you'd join the one in a thousand users that support us financially. We understand that not everyone can donate right now, but if you can afford to contribute this Friday, we promise it will be put to good use. Our resources are crucial for knowledge lovers everywhere—so if you find all these bits and bytes useful, please pitch in.
Can You Chip In? Dear Patron: Please don't scroll past this. The Internet Archive is a nonprofit that relies on online donations averaging $15.58. If you find all these bits and bytes useful, please pitch in.
Again, its been a long time with no post. Maaf untuk ketidakkonsistenan penulis untuk membuat laman ini aktif setiap saat (mungkin terlalu sibuk hidup) Saat ini saya membahas suatu hal yang masih baru yaitu album yang kurang diantisipasi tahun ini yang telah dirilis oleh salah satu band yaitu Payung Teduh, yang tahun kemarin meluncurkan album baru yaitu “Ruang Tunggu” dan viral dengan lagu mereka yang berjudul “Akad” dengan beberapa problematika, kekecewaan beberapa kawanan fans, dan komentar-komentarnya hingga keluarnya dua personel mereka yaitu Is dan Aziz Comi. Awalnya saya berfikir bahwa Payung Teduh akan rehat untuk waktu yang lama bahkan mengundurkan diri dari belantika musik. Tapi ternyata dugaan saya salah. Dua personelnya yang masih bertahan Ivan dan Cito sepertinya tidak terlalu terusik untuk mencipta karya dengan kejadian-kejadian serta pemberitaan pasca “Akad” membumi. Dengan sangat cepat dan sigap, entah sudah direncanakan sebelumnya dengan matang atau kebetulan lagi mendapatkan kondisi yang memungkinkan, belum cukup setahun album “Ruang Tunggu” yang rilis pada akhir 2017 kemarin, mereka merilis album baru berjudul “Mendengar Suara” pada Juli 2018 dengan formasi yang sangat berbeda dari sebelumnya. Dalam album “Mendengar Suara” Payung Teduh berkolaborasi dengan Orkes Panawijen yang menghadirkan sederet pengisi suara. Saya tidak pernah mendengar dengan baik album “Ruang Tunggu” kecuali lagu “Akad” itu, tapi sepertinya hanya lagu “Akad” yang keluar dari aliran musik yang sering Payung Teduh usung sebelum-sebelumnya. Pada album “Payung Teduh” dan “Dunia Batas”, musik yang diusung Payung Teduh pada beberapa lagu adalah keroncong yang lumayan up beat seperti di lagu “Angin Pujaan Hujan” dan “Menuju Senja” dan pada beberapa lagu kita bisa merasakan very slow Jazz tapi dengan sentuhan instrumen khas keroncong seperti di lagu “Rahasia” atau “Berdua Saja”, yang entah kenapa mengingatkan saya pada lagu musisi-musisi jazz veteran seperti Bing Crosby dan Louis Armstrong. Bagi saya sendiri mungkin agak sulit jika harus memilih antara album “Dunia batas” atau “Mendengar Suara” untuk dijadikan album favorit Payung Teduh sejauh ini. Tapi intinya kedua album tersebut masing-masing memiliki mood yang dapat dijadikan referensi daftar putar dalam mengisi masa muda.
Daftar Lagu Album “Mendengar Suara” : 1. Ugil-Ugil 2. Lagu Duka 3. Diam Keroncong 4. Tertawalah 5. Pagi Belum Sempurna 6. Mencarimu 7. Pudar 8. Berjalanlah 9. Makin Lelah 10. Diam Dangdut
Album “Mendengar Suara” dibuka dengan lagu “Ugil-ugil” dengan balutan instrumen khas keroncong dinyanyikan dengan lirik “ugil-ugil mendengar suara” dari awal sampai akhir. Saya tidak terlalu mengerti arti atau makna kata ugil-ugil itu apa (karena ketika searching arti atau makna ugil-ugil di google, yang ditampilakan malah bugil-bugil. Sudahlah). Tapi lagu “Ugil-ugil” ini sepertinya untuk menyapa para pendengar karena diletakkan di lagu pertama. Selanjutnya ada lagu “Lagu Duka” yang diiringi instrumen yang selow melow dengan petikan gitar dan suara seruling yang agak dramatis tapi keseluruhan lagunya nikmat di telinga, yang mengatakan tak ingin membuat kekisruhan di “tempat bermain”. Lagu ketiga dalam album “Mendengar Suara” adalah “Diam Keroncong” yang sebelumnya dirilis dengan judul “Diam” saja. Ternyata diberikan tambahan kata keroncong saat album ini dirilis karena pada lagu berikutnya yaitu lagu penutup dari album ini, lagu “Diam” digubah instrumennya dengan musik dangdut yang menjadikan judulnya “Diam Dangdut”. Aliran musik dalam lagu “Diam Keroncong” sudah terjelaskan dari judulnya, hampir mirip dengan mood lagu “Angin Pujaan Hujan” namun lebih santai dan lebih lembut karena dinyanyikan oleh perempuan bernama Citra dari orkes Panawijen. Agak berbeda dari “Diam Keroncong”,”Diam Dangdut” yang pastinya beraliran dangdut lebih kencang dengan balutan musik orkes dangdut yang dinyanyikan oleh Tia dan Vini. Jadi lagu dengan nada dan lirik yang sama bisa dinikmati dengan mood yang berbeda. Biasanya beberapa musisi membuat remix lagu orisinil mereka dalam musik akustik atau elektronik dansa, namun Payung Teduh membuat remix dangdut. Selanjutnya ada lagu “Tertawalah” yang menurut saya pop tapi nadanya tidak pop yang dalam liriknya ingin menggambarkan kondisi musim kemarau karena tak kunjung hujan ataukah global warming, entahlah, diikuti lagu “Pagi Belum Sempurna” yang menurut saya berpesan agar kita bisa lebih memahami lingkungan kita. Lagu keenam berjudul “Mencarimu” kembali dengan lirik kegelisahan akan kondisi bumi saat ini dengan musik yang agak dramatis. Mungkin Payung Teduh kehilangan udara segar sampai-sampai merilis lagu untuk mencarinya. “Pudar” mengisi daftar ke-7 dengan instrumen musik yang menggambarkan kebingungan akan keadaan. Dalam dua lagu sebelumnya pesan yang ingin disampaikan tidak serta merta tersirat, namun pada lagu “Pudar” maknanya sangat tersirat. Lagu berikutnya adalah “Berjalanlah” yang merupakan lagu favorit saya dalam album ini. “Berjalanlah” adalah lagu yang diiringi musik semi akustik dengan petikan gitar akustik dan gitar bass, serta sedikit hentakan bass dari drum di bagian awal lagu, namun dipertengahan lagu diiringi pukulan drum yang agak ramai. Sound drum dalam lagu ini sangat mengingatkan saya akan sound drum pada lagu Raisa yaitu “Kali Kedua”. Lagu kedua dari terakhir “Makin Lelah” yang lagi-lagi menyinggung kondisi lingkungan, namun yang paling menarik menurut saya adalah pada lirik “bayangan pohon memudar”. Mood lagunya sangat sangat dan sangat gelisah. Lagu terakhir seperti yang tadi sudah dijelaskan adalah lagu “Diam Dangdut” yang menutup album ini dengan ciamik. Jika mengamati lirik dari lagu kedua sampai lagu kedelapan sebenarnya adalah suatu rentetan kegelisahan dan pesan yang ingin dibagikan Payung Teduh tentang kondisi alam dan lingkungan yang mereka rasakan dan mungkin lihat. Intinya album ini penuh akan makna, tidak hanya sekedar betapa bahagianya saat duduk berdua di depan penghulu. Entah kenapa saya mendengar album ini sedikit sama “rasa”-nya saat mendengar album “Sinestesia” Efek Rumah Kaca, meskipun “Sinestesia” penetrasinya lebih dalam. Menurut saya album ini menjawab komentar, masukan, dan pertanyaan penggemar Payung Teduh yang kurang puas dengan karya mereka sebelumnya. Waktu perilisan album ini sangat tepat karena rilis diawal musim kemarau dimana banyak orang bepergian untuk berlibur dan berwisata ke pantai, gunung, danau, atau study trip ke pabrik kelapa sawit, berasumsi satu atau dua dari mereka bisa menikmati suasana sambil mendengar lagu-lagunya. Album ini dapat didengarkan pada layanan streaming musik seperti Spotify, Joox, Deezer, atau Youtube.