Contoh Cerpen Tema Lingkungan Hidup
Cerpen berjudul Sesuatu Telah Pecah di Senja Itu
Sesuatu Telah Pecah di Senja Itu
Mendadak semuanya menjadi begitu penting. Caranya menyingkirkan dengan sabar duri-duri ikan di piringku, suaranya ketika melantunkan doa, wajahnya ketika diam memikirkan sesuatu. Ah, ia selalu seperti itu. Sama dalam hal berpikir atau marah: diam. Dengan arah mata ke bawah tertuju pada pucuk hidungnya dan kedua tangannya bertemu di mulut, seperti tengah membungkam suara. Suatu saat ketika aku tanya mengapa, jawabnya, “Keduanya sama, jangan tergesa-gesa supaya tidak ada yang terluka.”
Mendadak semuanya menjadi tidak sederhana. Ia menyetrika sendiri pakaiannya, ia juga sering memasak makanan untuk kami: dirinya, aku, dan Ratri, anak kami yang masih bayi. Seingatku, ia tidak pernah marah dan bahkan bersuara keras padaku. Ia selalu bisa menunda, dan membicarakannya dengan nada sareh di lain waktu. Suatu saat ketika aku tanya mengapa, jawabnya, “Kanjeng Nabi tidak pernah bersuara keras pada istrinya.”
Aku bisa mengingat dengan jelas bahkan, ketika kami berdua baru melangsungkan pernikahan yang sederhana, waktu itu aku sedang haid. Sambil menunggu aku selesai dari rutinitas perempuan itu, ia menemaniku dengan cara mutih, hanya makan nasi dan minum air putih. Hingga tiba saat kami melakukan hubungan saresmi, laku seksual suami-istri, ia mengajakku menundukkan kepala, berdoa. Ketika aku sudah mulai menampakkan tanda-tanda kehamilan, semenjak itu ia melakukan puasa Daud, sehari puasa, sehari tidak puasa, sampai Ratri lahir. Hampir sembilan bulan ia melakukannya. Saat aku tanya mengapa, jawabnya, “Hanya ini yang bisa kulakukan sebagai seorang calon bapak.”
Tapi tidak tepat benar kalimat itu. Ketika aku nyidham, aku menginginkan ikan kali hasil pancingannya. Waktu itu, malam menjelang pagi, ia dengan semangat berangkat berbekal senter, golok, dan garan pancing. Pagi ketika aku bangun, ia sudah ada di dapur memasak ikan hasil pancingannya, menghidangkannya untukku, dan sebagaimana biasa, menyisihkan duri-duri ikan di piringku agar aku tidak kesulitan memakannya. Ketika kandunganku mulai membesar, ia sering mengusap kandunganku sambil nembang lagu-lagu tentang kebajikan. Ketika aku tanya mengapa, jawabnya, “Ia sudah bernyawa dan bisa merasa.”
Dan aku tidak akan melupakan peristiwa yang ini. Waktu itu kandunganku sudah sangat tua. Soekarno datang ke daerah kami untuk kembali meneguhkan perlunya mengganyang Malaysia. Aku dan suamiku yang merasa sebagai anak kandung revolusi datang juga. Sebagai seorang aktivis politik yang disegani di wilayahku, seharusnya suamiku ada di jajaran kursi depan. Tapi ia menolak. Kalau tidak karena aku hamil tua, tentu ia sudah memilih untuk berdiri di tanah lapang bersama ribuan orang yang lain. Akhirnya kami duduk di kursi deretan belakang. Ketika acara bubar, dan kami hendak beranjak pulang, seseorang menghampiri suamiku, ia bertanya mengapa aku dan suamiku tidak meminta nama untuk calon bayiku pada Bung Karno? Dengan pandangan mata berbinar ke arahku, suamiku menjawab, “Istriku yang lebih berhak memberi nama anak kami. Ia yang merasakan penderitaan orang mengandung.”
Aku memberi nama anakku Wangi Ratri. Malam di saat aku melahirkan, dalam impitan pedih, dalam samar-samar wajah suamiku yang mencoba ikut menguatkanku, aku mencium bau wangi. Sangat wangi.
Aku hanya punya satu malam dalam hidupku. Malam penuh hujan di akhir tahun. Suamiku, dengan linang air mata, memeluk erat. Ia tidak mampu mengatakan sepatah kata pun. Tapi gigil tubuhnya dan kabar-kabar di luar memberiku isyarat kuat. Hujan turun di malam kepergian suamiku. Dengan masih membopong Ratri aku menutup pintu. Hujan turun menderas di dadaku. Tapi tidak di mataku. Tidak akan kubiarkan air mataku jatuh di wajah bayiku. Aku tidak ingin menularkan kecengengan pada kuncup kehidupan.
Semenjak kepergian suamiku, hari-hariku adalah hari-hari penuh waswas dan ketakutan. Di mana-mana aku mendengar kabar dan desas-desus yang membuat merinding. Rumah-rumah dibakar, penculikan, pembunuhan yang dilakukan ramai-ramai. Pada pagi buta kuputuskan pergi pulang ke rumah orangtuaku. Di sana kekhawatiran bukannya mereda. Semakin banyak orang yang mati dan semakin banyak kudengar nama-nama orang yang kukenal mati. Aku masih menahan semuanya, dan berharap tidak mendengar nama suamiku disebut dalam kabar-kabar buruk itu.
Hingga kemudian di pagi buta, aku dibangunkan oleh bapakku. Dengan segera kubopong Ratri menuju ruang tamu. Aku berpikir, kalaupun toh aku harus mati, aku ingin mati di depan bayiku. Kalaupun toh aku harus ’diambil’, aku ingin anakku bisa menyaksikan dengan mata timurnya, aku, ibunya, tidak pergi dengan tetesan air mata.
Di ruang tengah aku hanya melihat ibuku, pamanku, dan seseorang yang datang adalah Pono, teman dekat suamiku. Di depanku dan di depan orangtuaku, dengan suara pelan, Pono mengatakan pesan suamiku. Melalui Pono, dapat kutangkap dengan gamblang pesan itu. Suamiku berpesan supaya aku tidak berharap ia pulang, dan ia meminta agar aku bisa menyelamatkan hidupku dan hidup anakku. Suamiku bahkan menyarankan agar aku menikah kembali dengan seorang sahabatnya untuk bertahan dari situasi yang sangat sulit. Sebelum Pono pergi, aku masih sempat menghentikan langkahnya di depan pintu, aku menanyakan kejujurannya tentang nasib suamiku, apakah ia tidak akan selamat? Pono menggeleng kemudian bergegas pergi, menghilang. Aku merasa hidupku ambruk saat itu, tapi air mataku tidak jatuh.
Aku dan suamiku adalah orang biasa. Bagian dari masyarakat yang saat itu dibakar oleh semangat revolusi yang belum selesai. Suamiku hanya seorang guru yang sederhana dan dikenal baik oleh masyarakat. Ia berteman dan bersahabat dengan banyak orang yang bahkan berbeda pemikiran. Rumah kami, hampir tiap malam, menjadi tempat pertemuan baik untuk kepentingan organisasi yang diikuti oleh suamiku, maupun untuk pertemuan dengan teman-temannya yang lain. Di rumah kami yang sederhana, sering datang seorang mantri suntik yang sangat baik dan seorang seniman yang juga sangat baik serta halus budi bahasanya. Mereka berdua adalah orang-orang yang satu organisasi dengan suamiku. Pak Mawardi, mantri suntik itu, kudengar mati dibakar massa di rumahnya, rumah yang sering dipakai untuk menolong orang sakit tanpa pamrih. Sedangkan Sunardi, seniman yang pintar menari, yang wajahnya sangat ayu dengan kebaikan dan kehalusan hatinya, konon ditemukan tanpa kepala di sebuah parit tidak jauh dari rumah kami dulu.
Aku sungguh tidak tahu mengapa ada pembunuhan demi pembunuhan. Ketakutan ada di mana-mana. Semua orang seperti punya taring, semua udara seperti bertelinga. Banyak orang hilang tanpa sebab. Desas-desus terus membadai. Malam-malam semakin terasa mengeras. Aku mulai mendengar desas-desus tentang kematian banyak perempuan. Aku mulai mendengar banyak perempuan yang diambil menyusul suaminya. Cerita-cerita itu, duh….juga dilengkapi dengan perlakuan-perlakuan keji. Bu Marni boleh mengirim makanan untuk suaminya setelah ’digilir’ para petugas. Seminggu kemudian suaminya mati karena kelaparan dan siksaan di penjara. Mbak Rukmi menjual semua hartanya untuk ’membayar’ agar suaminya keluar. Uang diterima petugas. Beberapa hari kemudian, ia baru tahu suaminya sudah lenyap dari penjara itu.
Aku semakin waswas dengan keadaan diriku, terutama Ratri. Di masa-masa seperti itu, nyawa begitu tidak berguna. Kehidupan sudah bukan lagi sesuatu yang patut dihormati dan dihayati. Setiap orang bisa hilang dan mati kapan saja. Ia bisa mati hanya karena pernah datang di suatu rapat. Ia bisa mati hanya karena pernah bergaul dengan orang yang dianggap berbahaya. Ia bahkan bisa mati hanya karena sebuah suara dan telunjuk yang secara ngawur diarahkan padanya, entah dari sudut gelap yang mana. Berbulan-bulan aku menanggungnya. Pada malam-malam itu aku selalu menunggu dan berharap semoga malam itu bukan malam terakhirku.
Hingga kemudian Rahmat datang. Ia datang dengan wajah serba salah dan masygul. Rahmat adalah sahabat suamiku dan sahabat Pono. Mereka bertiga berbeda organisasi politik, tetapi menjalin persahabatan dengan baik. Rahmat anak seorang kiai yang cukup ternama di kecamatan lain. Orangtuanya adalah kenalan baik suamiku dan teman baik bapakku.
Dengan ditemani kedua orangtuaku, aku menemui Rahmat. Dengan suara pelan, Rahmat menceritakan pertemuannya dengan Pono beberapa bulan yang lalu. Pono membawa amanat dari mendiang suamiku agar Rahmat bersedia menikahiku. “Saya tidak tahu harus bagaimana Mbakyu. Tapi apa pun keputusan Mbakyu, saya manut.” Dan aku melihat air mata Rahmat menggenangi kedua matanya. Mata sahabat suamiku yang santun dan saleh.
Sebelum itu semua terjadi, aku sudah memikirkannya. Mencoba memikirkan dengan jernih. Situasi tidak kunjung membaik. Aku hidup tanpa suami dan dalam kondisi yang memprihatinkan. Aku butuh suatu pegangan, setidaknya lepas dari impitan ketakutan, rasa waswas, dan nasib yang tidak menentu. Aku juga memikirkan Ratri.
Tetapi ketika aku hendak memutuskan, semuanya kembali sebagai sesuatu yang sangat sulit. Duh, Gusti, mengapa pisau uji-Mu begitu landhep, begitu tajam memangkas dan memotong seluruh kehidupanku. “Wuk Cah Ayu, kadang kala banyak jalan hidup yang tidak bisa kita pahami. Hidup ini bukanlah sesuatu yang bisa kita pilih. Ini bukan masalah senang dan tidak senang. Tapi putuskanlah. Sebab hidup ini adalah sebuah keputusan. Juga mungkin yang berhubungan dengan katresnan. Kamu tidak sedang berhadapan dengan kehidupan yang sewajarnya. Kamu berhadapan dengan dunia binatang.” Bapakku dengan suara groyok, seperti menahan tangis, mencoba memberi saran.
Aku mengangguk. Demi hidup ini sendiri. Demi Ratri.
Tahun-tahun awal pernikahanku dengan Rahmat adalah tahun-tahun yang paling sulit kupahami. Semua serba canggung, di antara segala pernik kehidupan sehari-hari, dan kesedihan yang sering menyelinap berkali-kali. Seluruh hal-hal kecil yang dulu kuanggap biasa tiba-tiba menjadi penting. Satu kejadian kecil tiba-tiba seperti membuka kotak ingatanku. Langkah kaki, suara orang bercakap-cakap, derit pintu, terutama jika hujan turun.
Bertahun-tahun aku hanya bisa diam dengan hati yang sering teriris hanya karena ada ikan kali di meja makan. Rahmat bertindak dengan bijak, ia tidak pernah mengail ikan dan tidak pernah makan ikan kali. Bertahun-tahun aku tidak bisa menyangkal suara-suara yang keluar dari mulut Ratri, suara anak kecil yang renyah tiba-tiba bisa menggaungkan banyak kalimat yang diucapkan oleh bekas suamiku. Dan bertahun-tahun itu pula, Rahmat tidak pernah menagih untuk melakukan hubungan suami-istri. Ia sabar, banyak melayaniku, dan mungkin jauh di perasaannya, aku tetap istri sahabat yang dihormatinya.
Berkali-kali pula aku meminta maaf pada Rahmat, mengaku berdosa sebab aku merasa sedang tidak berbuat adil. Tapi ia tetap dengan kesabarannya yang khas, merasa sangat mengerti apa yang aku rasakan. Menurutnya, lebih baik aku tidak berusaha melupakan semua itu. Aku harus menerimanya, menerima seluruh hal termasuk kenangan-kenangan yang sulit dilupakan. Sebab tanpa itu semua, aku tidak pernah sampai pada kehidupanku yang sekarang ini. Aku tumbuh bersama seluruh peristiwa dan kenangan. Semua itu sah sebagai bagian dalam hidupku.
Dan aku mencoba menerimanya. Menerima keadaanku, menyadari bahwa semua itu pernah kulalui, dan itu penting dalam hidupku. Aku mulai menerima bahwa mendiang suamiku sudah tidak ada lagi. Aku harus menjalani kehidupanku selanjutnya. Dan aku tak hendak membuang seluruh peristiwa bersama mendiang suamiku dari kenanganku. Tapi tentu aku tidak akan melupakan mengapa peristiwa sedih itu menimpaku. Aku tidak tahu dosa dan kesalahanku, aku tidak tahu dosa dan kesalahan mendiang suamiku. Seluruh peristiwa yang membuatnya pergi dariku tidak akan kulupakan dan tidak akan kumaafkan. Aku bukan memendam dendam, aku hanya tidak memaafkan.
Apa kesalahannya? Bukankah ia hanya seorang guru yang sederhana? Bukankah ia bermasyarakat dengan baik? Ia tidak pernah melakukan kejahatan. Ia bukan pencuri, bukan perampok. Hampir di seluruh hidupnya bahkan digunakan buat kebaikan dan memikirkan orang lain. Apa yang salah dari mendiang suamiku, juga Mantri Mawardi, dan Sunardi?
Setiap kali rasa marah itu memuncak, Rahmat selalu berusaha menenangkanku. Ia mencoba menuntunku untuk berdamai dengan masa lalu. “Percaya saja hukuman itu akan datang, entah kapan dan datang dari mana. Tapi kalau kamu tidak mencoba berdamai dengan masa lalumu, kamu akan rugi. Semua itu hanya akan membuat mereka terus berteriak menyoraki kehidupanmu. Untuk yang seperti itu, aku tidak akan merelakannya.” Sambil berkata seperti itu, Rahmat menatap tajam pada mataku. Saat itu. Untuk kali pertama, aku memeluknya, erat. Sangat erat.
Pada akhirnya, aku bisa menerima itu semua. Bukan hanya tentang mendiang suamiku. Tapi aku menerima Rahmat sebagai seseorang yang kupunyai dan kucintai. Jika hidup itu sendiri adalah sebuah keputusan: diterima atau tidak, dilanjukan atau diakhiri. Cinta tidak lebih dari itu semua. Mencintai pada akhirnya adalah sebuah keputusan. Dan karena sebuah keputusan, maka berbagai pertimbangan sah menjadi landasannya. Pada akhirnya, toh cinta, sebagaimana banyak hal yang lain: tidak turun dari langit yang gaib. Ia, cinta, hanya bisa diputuskan dan dikerjakan.
Anak keduaku lahir. Seorang perempuan cantik, namanya Laila. Ia juga lahir di malam hari. Kelahirannya membuatku semakin yakin dengan jalan hidup yang kutempuh. Kini ada semakin banyak anak-anak harapan yang bisa kukerjakan. Kami bahagia.
Lalu datang senja itu. Beberapa hari sebelumnya, aku merasa ada yang aneh dengan diriku. Aku sering merasa tiba-tiba ada yang mengagetkanku. Aku merasa tiba-tiba ada mendiang suamiku di dekatku. Aku merasa tiba-tiba sering kosong, mengerjakan sesuatu tanpa kesadaran.
Hingga benar-benar datang senja itu. Awalnya, Laila yang baru saja pulang dari sekolah sore, memanggilku di dapur, katanya ada tamu. Aku bergegas ke depan, tapi aku tidak mendapati apa-apa. Laila juga bingung. Aku nratab, deg-degan tak karuan, entah kenapa. Lalu aku kembali masuk ke dalam, mencoba mempersiapkan masakan di meja makan dengan perasaan tidak menentu. Laila lalu masuk lagi ke dapur untuk mengabarkan bahwa ada tamu, tamu yang tadi. Dengan cepat aku keluar. Kali ini, aku benar-benar kaget.
Duh Gusti, Pono! Ia berdiri mematung di depan pintu. Sejenak menatapku, lalu menundukkan kepala. Aku segera menggandengnya untuk masuk ke dalam. Aku membuatkannya teh hangat, tapi perasaanku semakin tidak karuan. Sehabis mempersilakannya minum, pandangku kembali terhenti di depan sosok yang sudah belasan tahun tidak hadir dalam hidupku. Ia jauh lebih tua dari usia seharusnya. Tapi aku memakluminya. Hidup yang kejam tentu telah dilaluinya. Ia lebih banyak diam. Setiap kali aku bertanya tentang kabarnya, ia hanya menjawab singkat dengan kata-kata yang tidak jelas. Dan aku mencoba memakluminya. Hidup yang kejam membuatnya tidak gampang mengeluarkan kata-kata. Ia lebih banyak melihat ruang tamu, perkakas yang ada di sana, potret-potret di dinding. Ia seperti ingin menanyakan sesuatu, aku menangkapnya sebagai pertanyaan terhadap Laila. “Ia anak keduaku dengan Rahmat. Namanya Laila. Ratri, kakak Laila, sedang pergi dengan suamiku ke rumah neneknya. Tapi ia pasti pulang malam ini. Kamu harus menunggu mereka.”
Pono diam. Tiba-tiba ia menggeleng cepat. “Tidak, aku harus cepat pulang.”
Aku agak terkejut dengan jawabannya. Aku merasa ada sesuatu yang hendak dikatakan padaku. Jangan-jangan…..Ah, tapi tidak. Mendiang suamiku sudah pergi. Semoga arwahnya tenang di sisi Gusti Allah.
Pono bangkit. Dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya bisa mengantarnya sampai pintu. Beberapa langkah dari pintu, Pono kembali menengok. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi kemudian tetap urung. Ia kembali melangkah pergi. Tanpa kata-kata. Ketika sampai di luar pagar rumah, Pono kembali menengok ke belakang, ke arahku. Benar. Aku sangat yakin ada sesuatu yang ingin dikatakannya. Agak lama ia terdiam. Dan ia benar-benar melangkah pergi. Senja membuatnya menjadi bayang-bayang, mengabur, lalu lenyap.
Sebuah kepastian menyergapku kuat. Mendiang suamiku belum meninggal dunia! Dalam ragu, dan rasa tak tentu, aku melangkah keluar pintu rumah. Sampai di pelataran rumah, aku terhenti. Ada sesuatu yang membuatku berhenti mengejar Pono. Aku seperti berada pada satu perbatasan. Batas yang sangat rumit. Dadaku sesak. Senja menggelap di pelataran. Aku terguncang. Tangisku pecah di pelataran. ***
Pengelolaan hutan dan lahan
Menjaga kekayaan hayati beserta dengan beragam sumber daya alam merupakan tugas yang harus dilakukan secara kompak. Dimana salah satu upayanya adalah dengan melakukan pengelolaan hutan dan lahan. Oleh sebab itu menjadikan contoh tema seminar lingkungan hidup berikut ini bisa pula dijadikan sebagai pilihan tepat guna sama sama mengeksplorasi praktik pengelolaan hutan berkelanjutan, restorasi lahan yang terdegradasi, dan memahami secara mendalam tentang betapa pentingnya konservasi ekosistem hutan.
Cerpen berjudul Kerbau dan Jalak
Pak Falo adalah seekor kerbau hitam berbadan besar dan mempunyai tanduk yang amat panjang. Hari ini, ia benar-benar gundah. Badannya gatal bukan kepalang. Ia sudah mencoba mengusir rasa gatal itu dengan selalu mengibaskan ekornya. Namun, rasa gatal itu tak juga hilang. Sementara itu, mulutnya terus saja mengunyah rumput hijau yang terhampar di padang luas, sambil sesekali mengo’a karena rasa gatal yang tak tertahankan.
Cuit-cuit, cuit-cuit, cuit-cuit, suara si Jali riang gembira. Jali si jalak, burung mungil pemakan kutu yang hampir setiap hari menyanyi di atas pohon di dekat Pak Falo biasa makan rumput. Jali biasanya melihat Pak Falo yang riang gembira. Namun tidak kali ini, Pak Falo hari ini terlihat gundah.
“Apa gerangan yang terjadi padamu Pak Falo?”, tanya Jali. “Badanku gatal sekali”, jawab Pak Falo sambil mengibas-ngibaskan ekornya.
Pak Falo sudah mengusir rasa gatal itu dengan mengibas-ngibaskan ekornya, namun usahanya sia-sia. Rasa gatal itu semakin menjadi. “Kamu belom mandi ya?”, tanya Jali. “Rumahku jauh dari sungai, jadi aku jarang mandi”, jawab Pak Falo sambil mengusir rasa gatal di badannya dengan mengibaskan ekor.
“Pantas saja, pasti badan kamu banyak kutunya, karena kutu-kutu itu suka tinggal di tempat yang kotor”, kata Jali. Pak Falo mengangguk setuju. Pak Falo meminta bantuan kepada Jali untuk menyelesaikan masalahnya.
“Baiklah kalo begitu, bersiaplah aku akan selesaikan masalahmu”, kata Jali.
Jali pun bersiap untuk terbang. Jali mulai mengambil nafas panjang, menegakkan lehernya, memandang langit, dan dengan secepat kilat, ia terbang tinggi. Kemudian, ia berputar-putar dan tidak berapa lama Jali menukik tajam dari atas ke badan Pak Falo.
“Hei Jali, apa yang kamu lakukan? Kamu mau membunuhku ya?”, teriak pak Falo sambil berlari menghindari serangan Jali.
“Berhenti!!! Jangan lari kamu!”, teriak Jali.
“Tidak! Tidak…!! Tidak…..!!!”, teriak Pak Falo sambil terus berlari.
Jali tak mau kalah, ia terus mengejar Pak Falo. Bahkan, jali terbang lebih kencang dari sebelumnya. Pak Falo tidak mau jadi sasaran Jali. Dengan cepat, ia masuk ke dalam hutan dan bersembunyi di balik sebuah batu besar.
Jali kehilangan jejak Pak Falo. Sambil terengah-engah, Jali hinggap diatas ranting sebuah pohon, memperhatikan keadaan sekitar. Dari balik batu, Pak Falo pelan-pelan mengintip, dan pelan-pelan berpindah tempat ke batu yang lain untuk menjauhi Jali. Namun, tanpa sengaja, Pak Falo terpeleset dan jatuh, sehingga menimbulkan suara gemuruh yang menyebabkan Jali mengetahui keberadaan Pak Falo.
“Pak Falo……!”, teriak Jali sambil terbang mengejar Pak Falo.
“Duh, aku jatuh, habislah aku sekarang”, kata Pak Falo. Jali semakin dekat dengan Pak Falo dan tiba-tiba….
Ada suara keras yang mengagetkan mereka berdua. Ternyata, suara itu datang dari Raja Sing, Singa sang penguasa hutan.
“Apa yang kalian berdua lakukan. Kalian telah mengganggu istirahatku”, kata Raja Sing.
“Jali mengejarku Raja Sing, dia mau membunuhku”, kata Pak Falo dengan nada memelas.
“Tidak raja, aku bukannya ingin membunuhnya. Justru, aku ingin membantu menyelesaikan masalahnya”, sanggah Jali membela diri.
Mereka berdua kemudian berdebat dan saling menyalahkan.
“Sudah, cukup. Bila seperti ini terus, kapan akan selesai?” bentak Raja Sing.
Mendengar bentakan Raja Sing, akhirnya mereka diam sambil menundukkan kepala.
“Apa masalahmu Falo?”, tanya Raja Sing.
“Aku tadi sedang makan rumput diladang. Aku merasakan tubuhku gatal semua. Kemudian, Jali datang. Dia bertanya kenapa aku bertingkah aneh. Lalu, aku jawab bahwa tubuhku gatal-gatal dan tiba-tiba dia menyerangku. Aku pun lari menghindari serangannya.”
“Tapi tubuh Jali kecil, sedangkan kulitmu keras, bagaimana kamu punya pikiran bahwa Jali akan membunuhmu?”, tanya Raja Sing.
“Tapi dia tadi menyerangku raja”, kata Pak Falo.
“Maaf raja, aku bukannya hendak membunuhnya. Justru aku ingin membantunya. Aku melihat banyak kutu ditubuh Pak Falo, dan itu adalah makanan kesukaanku. Aku hanya ingin memakan kutu-kutu itu tanpa menyakiti Pak Falo”, jelas Jali penuh semangat.
Raja Sing pun akhirnya tahu duduk permasalahannya.
“Oh, begitu masalahnya. Jadi sekarang sudah jelas kan semuanya. Ayo sekarang bermaafan”, kata Raja Sing.
“Baiklah Raja Sing”, mereka berdua menyambut.
“Ayo, Jali, segera naik ke punggungku, habiskan kutu-kutu yang ada di tubuhku”, kata Pak Falo sambil tersenyum.
“Iya pak Falo”, teriak Jali.
Pak Falo memakan rumput hijau kesukaannya, sedangkan Jali memakan kutu-kutu yang ada di tubuhnya. Mereka berdua gembira dan menghabiskan hari itu dengan perut kenyang. Sementara Raja Sing kembali ketempat istirahatnya.
Cerpen berjudul Kelelawar di Atas Kepala Mama
Kelelawar di Atas Kepala Mama
Mama tak pernah marah padaku. Ia selalu muncul sebagai peri nan cantik. Rambut panjang mama tergerai indah, itu yang selalu kulihat. Selebihnya, suara lembut yang kudengar bila ia dekat-dekat denganku. Mama tak pernah meninggalkanku di malam hari. Pernah aku tersedak ketika tengah makan malam. Ia menepuk-nepuk punggungku seraya berkata, ’’Tak apa-apa.’’ Ah, mama yang baik.
’’Ini tinggimu sudah sebahu Mama.’’
’’Mama yang terlalu pendek.’’
Lalu kami berdekapan. Pelukan Mama menjadi sesuatu yang menenangkanku. Juga saat sekelompok kelelawar datang padaku di tengah malam. Aku bangun. Kaget. Keringat dingin mengucur. Aku bilang, aku takut Ma. Kelelawar itu banyak sekali. Awalnya mereka hanya terbang di dekat jendela. Aku diam. Lalusatu kelelawar masuk lewat lubang celahudara. Aku mulai takut. Dan akhirnya semua kelelawar itu terbang di atas kepalaku. Rangkaian Peristiwa:
Kelelawar jatuh di atas kepalaku. Tak hanya satu. Tapi segerombolan. Seekormenutupi mulutku. Lalu mataku. Lalu telingaku. Hingga seluruh kepalaku terbenam. Mama datang, kelelawar pun pergi. Wajah mama merah. Baru sekali ini aku melihat Mama seperti itu. Biasanya wajah Mama putih bersih. Mengapa sekarang merah?
’’Jangan teriak-teriak!’’
’’Aku takut kelelawar.’’
Mama menuju ke jendela, membuka sebentar, lalu menutupnya kembali.
’’Sudah pergi semua.’’
Pagi harinya, Mama masih dengan wajah merah. Aku menunduk, tak berani tanya. Sudahlah, yang penting Mama tak apa-apa, pikirku. Merah di pipi Mama tak hilang juga. Padahal sudah berbulan-bulan terlewat. Aku masih melihat semburat merah pipi Mama walau tipis. Awalnya aku takut. Namum lama-lama terbiasa juga.
Kelelawar dan merah pipi Mama kini tak asing lagi. Mama lebih sering menemaniku. Sebenarnya, aku tak terlalu butuh ditemani. Kelelawar tak membuatku takut lagi.
’’Mama yang butuh ditemani, Sayang,’’ katanya.
Mama jadi sering tidur di bersamaku.
PIPI mama semakin memerah bila usai menelepon. Entah dengan siapa. Setidaknya itu yang kulihat.
Mama segera beranjak bila mendengar bunyi telepon. Ia tak jadi menyuapiku. Aku melongo saja saat melihat langkahnya menghampiri gagang telepon, dan mendengarnya tertawa cekikikan. Aku harus makan sendiri, tak ingin merepotkan Mama lagi. Maka kubiarkan Mama asyik dengan teleponnya, dan aku asyik dengan makananku.
’’Apa Papa mau pulang, Ma?’’
’’Masih lama, Sayang,’’
’’Mama tampak senang sekali.’’
’’Ya, memang. Mama sedang bahagia.’’
Lalu pipi Mama memerah lagi. Jujur, aku suka Mama yang seperti ini. Tak murung lagi. Dulu, Mama lebih sering terlihat sedih. Pipinya tak semerah ini. Aku sering melihatnya menangis di tepi kolam. Waktu itu ia duduk di tepi kolam sembari kakinya menjulur masuk ke dalam air. Aku tak berani mendekat, hanya melihat dari kejauhan saja. Meski jauh, aku dapat melihat Mama tengah mengusap pipinya, tak merah seperti ini.
Biasanya, pipi merah Mama akan tampak setelah kepulangan Papa. Satu atau dua hari setelah Papa pergi lagi, merah pipinya luntur kembali. Papa hanya pulang sesekali saja. Ia masuk kamarku, mengecup keningku, lalu segera menuju kamarnya. Itu yang sering ia lakukan. Aku sampai tak hafal bau keringat Papa. Yang aku tahu, perut Papa gendut dan bulat. Wajahnya lucu. Hanya itu saja. Hanya satu atau dua hari saja perjumpaanku dengan Papa. Lalu ia pergi lagi.
’’Papa kerja dulu, Sayang.’’
Dan Papa pun pergi lagi sampai berminggu-minggu.
Namun kini merah pipi Mama tak surut juga. Padahal sudah berminggu-minggu yang lalu Papa pergi. Aneh.
’’Kita harus pergi, Sayang. Ini darurat.’’
Aku kaget. Pagi masih buta sekali. Dan aku masih ingin tidur.
’’Mau ziarah ke kota tua, Ma?’’
Lalu Mama menggandengku, setengah paksa. Aku menuruti langkahnya. Kami menuruni tangga, menuju mobil, keluar gerbang, semua serba terburu-buru.
’’Iya sayang, aku akan menyusulmu,’’ Mama bersuara dengan teleponnya.
Mobil dipacu Mama dengan cepat sekali. Aku sampai takut. Kami melaju di tengah kota yang masih lengang. Mobil keluar dari perkotaan dan melewati jalanan yang sepi. Aku tak tahu kemana Mama akan membawaku. Aku berpegangan erat pada jok mobil. Mama menyuruhku duduk di belakang, dan ia mengemudikan mobil.
Jalanan masih lengang. Ketika aku tanya hendak ke mana, Mama malah membentakku. Aku mengangis. Lalu Mama menyuruhku diam. Aku sedikit takut. Mama tak pernah membentakku seperti ini. Bahkan ketika aku buang air di celana pun, ia tak pernah marah. Namun mengapa Mama sekarang jadi seperti ini?
Dari kaca, aku melihat wajah Mama. Cantik dan merah. Namun merahnya bukan seperti yang kemarin. Kini merah padam. Mama kini lebih terlihat seperti iblis. Menyeramkan.
Mobil berhenti. Aku melihat ke luar. Mama menyuruhku untuk tetap tinggal di mobil. Ia keluar lalu masuk ke dalam sebuah rumah kecil. Aku takut. Aku ingin ikut, namun Mama melarang. Aku menunggu dengan cemas. Mungkin inilah kali pertama aku merasakan kecemasan dalam hidupku. Mama tak penah meninggalkanku sendirian seperti ini.
Aku kaget ketika pintu mobil dibuka. Mama duduk di depan. Seorang lelaki dengan tato di lengan kiri tengah duduk di belakang kemudi. Aku takut. Badanku menggigil. Aku meraih jaket Mama, menutupkannya di wajahku. Lelaki itu tak pernah kulihat sebelumnya. Sepanjang hidup, aku hanya mengenal tiga lelaki, Papa, Pak Sopir, dan tukang kebun rumah kami.
’’Kamu bawa anak ini?’’
’’Dia akan menyusahkan.’’
’’Ah, terserah kau saja. Tapi aku tak mau dipusingkan dengan anak idiot.’’
Lalu semua diam. Jalanan mulai lengang. Aku masih diam dengan wajah tertutup jaket. Hanya sesekali aku mencuri pandang lewat celah jaket yang sengaja kubuka. Mama menutup mata, entah tidur atau hanya pura-pura tidur. Tiba-tiba jalanan gelap. Aku membelalakkan mata, jaket kuletakkan, mencari seberkas cahaya. Sekawanan kelelawar menutupi mobil yang kami tumpangi. Aku semakin takut. Aku sudah terbiasa dengan puluhan ekor kelelawar. Namun mungkin ini ribuan.
’’Nah kan, anak idiot ini merepotkanmu.’’
’’Mama, aku takut kelelawar.’’
’’Tak ada kelelawar, Sayang.’’
’’Itu,’’ aku menunjuk kepala Mama, seekor kelelawar besar berada di atasnya.
Aku melihat lelaki itu tersenyum. Wajahnya seperti kelelawar.
’’Mama, kelelawar itu menarik rambut Mama.’’
’’Suruh anak itu diam!’’
Aku menutup wajah rapat-rapat. Teriakan lelaki itu membuatku takut. Mobil kami melaju semakin kencang. Mama berteriak-teriak. Aku masih menutup mata. Aku takut dengan kelelawar di atas kepala Mama. Lelaki itu sepertinya memukul Mama. Aku takut. Mama menangis.
’’Brengsek kamu ternyata….’’
’’Aku mau pulang. Kembalikan semuanya!’’
Lalu semuanya hening. Mama luka di bagian kepala. Aku membuka mata dan melihat lelaki itu pergi.
’’Mama, kelelawarnya sudah pergi semua.’’
Aku menyeka kepala Mama. Darah menempel di jariku. Lelaki itu tak kembali juga. Aku kasihan dengan Mama. Namun semua gelap ketika lelaki itu muncul dengan tiba-tiba.
Dan semua benar-benar gelap.
’’Untunglah anak ini selamat.’’
Aku membuka mata. Beberapa kelelawar yang menutup mataku tadi telah pergi.
’’Mama,’’ aku memanggil Mama. Apakah kelelawar di atas kepalanya telah pergi?
’’Ini ada Papa, Sayang.’’
Aku melihat Papa dengan wajah lucunya, tak seperti kelelawar. Segera kuraih pipinya, mencari kelembutan sisa-sisa belaian Mama di sana. Tak ada kelelawar di atas kepala Papa, tak seperti kepala Mama waktu itu.
’’Pak, ada dokumen yang harus diisi. Pihak kepolisian sudah menunggu.’’ Seseorang mengagetkan Papa.
’’Jadi siapa nama Anak ini?’’
’’Jadi apa saja yang dirampok, Pak?’’
’’Mobil, perhiasan, dan anehnya, sertifikat tanah kok bisa ikut dibawa di mobil, itu yang sedang saya pikirkan.’’
’’Baik Pak, untuk kasus perampokan ini, kami akan menindaklanjuti lebih jauh.’’
Aku melihat lelaki dengan baju cokelat dan topi yang lucu. Lalu Papa berlalu bersamanya.
Papa menoleh ke arahku.
’’Ada Mama. Di situ. Dengan kelelawar,’’ aku menunjuk pojok ruangan. Mama tersenyum dengan wajah merah dan kelelawar di atasnya.
Papa tersenyum. Seseorang di sampingnya kaget.
’’Dia belum tahu bahwa mamanya sudah meninggal.’’
Lalu Papa melangkah pergi. Benar-benar pergi. Dan Mama masih berdiri dengan wajah merah dan kelelawar di atas kepalanya.
’’Mama, kelelawar itu menarik-narik rambut Mama.’’ Namun Mama hanya tersenyum. Papa telah hilang di balik pintu. Dan kini Mama lenyap ke dalam tembok.
’’Sean, jangan nakal ya!’’ seorang wanita mendekatiku. Ia bukan Mama.
’’Ada kelelawar di atas kepala Mama. Mereka menarik-narik rambut Mama,’’ aku mengucapkannya berkali-kali.
Baca Juga: Mengenal Syair: Pengertian, Sejarah, dan Jenis | Bahasa Indonesia Kelas 9
Cerpen berjudul Kucing yang Selalu Lapar
Kucing yang Selalu Lapar
“Mengapa kucing mencuri?” tanya Kiki dalam hati. Gadis kecil itu merenung di tepi jendela sambil mendengarkan keributan yang sedang terjadi di sebelah rumahnya.
Kiki sudah dapat menduga siapa yang menjadi sumber keributan itu. Pasti kucing itu! Benar saja! Seekor kucing kecil dengan tangkas meloncat ke pagar tembok yang memisahkan rumah Kiki dengan rumah Tante Sali. Mata kucing itu dengan liar memperhatikan sekitarnya. Ekornya berkali-kali dikibaskan ke udara.
“Hai….” sapa Kiki. “Mencuri lagi, ya!” Kucing itu hanya menggeram. Matanya nanar waspada. Tiba-tiba saja ia melompat turun. Lalu menghilang.
“Kucing sialan!” Tante Sali muncul dari balik pagar. Napasnya memburu.
Sebelah tangannya membawa sapu, sebelah lagi berkacak pinggang. “Sialan kucing itu!”
“Mencuri apa dia, Tante?” tanya Kiki.
“Oh….” Tante yang gemuk itu menoleh. Senyumnya mengembang melihat Kiki. “Tidak, tidak mencuri apa-apa! Tidak berhasil dia! Tapi tiap hari diintip-intip, kan, menyebalkan, Ki!”
“Oh…. Tidak berhasil!” Kiki meniru. “Kenapa kucing mencuri, Tante?”
“Tentu saja karena ia lapar!” jawab Tante Sali.
“Kasih saja kucing itu makan, Tante, biar tidak mencuri lagi!” usul Kiki dengan polosnya.
“Enak saja!” Tante Sali merengut. la jadi nampak lucu sekali. Dagunya yang gemuk berlipat-lipat. “Memangnya kucing siapa dia?!”
Kucing siapa? Kiki tertegun. Dalam benak gadis kecil itu tak terbayang pemilik kucing yang selalu membuat ulah itu. Kalau tidak berhasil mencuri di tempat Tante Sali, pasti ia beroperasi di rumah sebelah lagi.
“Punya siapa, Tante?” tanya Kiki cepat-cepat sebelum Tante Sali berlalu.
“Tidak tahu. Kucing liar mungkin,” jawab Tante Sali sambil membalikkan badan.
Namun, kemudian dia berbalik lagi. Lalu menjulurkan kepalanya melewati pagar.
“Kiki,” panggilnya. “Kenapa tidak main ke rumah Tante? Ayo, anak manis, kok tahan sendirian di rumah! Molly belakangan ini kesepian tidak ketemu Kiki,” kata Tante Sali.
Kiki menggeleng. Lalu menutup jendela cepat-cepat sebelum tante yang gemuk itu mendesaknya bermain ke situ.
Rupanya Tante Sali tidak tahu bahwa Kiki lagi marah pada Molly, anjingnya itu. Kiki sebal Molly mau seenaknya saja. Kalau ia lagi ingin main, Kiki dikejar-kejarnya. Coba kalau lagi malas, Molly tidak memperdulikannya! Lebih baik bermain dengan si Putih saja! gerutu Kiki dalam hati. Si Putih…
“Ngeong… Ngeong….” Terdengar suara kucing. Kiki segera berlari ke luar.
Beberapa anak laki-laki sedang menghajar si Putih di rumah sebelah. Ada yang menendang, memukul pakai sapu, dan menarik-narik ekornya. Kucing itu hanya bisa mengeong-ngeong kesakitan. Beberapa kali ia mencoba melarikan diri, tapi tertangkap kembali.
Tante Sali menyaksikan itu dengan senang sekali. Bahkan ia menyemangati anak-anak itu. Sedangkan Kiki yang berdiri di sebelahnya berurai air mata. Hatinya yang polos dan lembut tak bisa menerima tindakan semena-mena itu.
Ketika Ibu pulang dari bekerja, Kiki mengadu sambil terisak-isak. Ibu menenangkan anak satu-satunya itu dan berjanji.
“Kalau Nyonya masak daging, nanti Ibu bawa tulang-tulangnya pulang. Untuk kucing pencuri itu. Biar ia tidak lapar. Biar tidak mencuri lagi,” kata Ibu.
Ibu bekerja jadi pembantu di rumah Nyonya Maria. Sejak masih gadis Ibu sudah bekerja di sana. Ibu berhenti bekerja ketika menikah dengan bapak Kiki. Setelah suaminya meninggal, Ibu bekerja kembali di sana.
Ketika tahu Ibu sering membawa pulang tulang-tulang ikan untuk kucing, Nyonya Maria malah memberi daging untuk Kiki. Nyonya Maria maklum keluarga kecil itu tentu jarang makan daging.
“Wah, daging, Bu!” seru Kiki ketika melihat apa yang dibawa ibunya pulang. “Untuk si Putih?”
“Ini gulai. Untuk Kiki saja,” kata Ibu. “Tulang-tulangnya baru kasih si Putih.”
“Nyonya Maria baik sekali ya, Bu. Kalau sudah besar, Kiki mau bekerja di sana juga,” kata Kiki. Ia makan dengan lahapnya sambil tak lupa bercerita tentang si Putih.
Si Putih, kucing pencuri itu, kini menjadi sahabat Kiki. Mulanya memang sulit untuk mendekati Putih. Kucing itu selalu curiga dan waspada. la pasti lari bila didekati. Hanya bila lapar saja, ia mencari Kiki. Karena ia tahu Kiki menyediakan tulang untuknya.
Namun, lama-lama kucing itu menyukai Kiki juga. Kiki satu-satunya manusia yang berlaku hangat dan manis padanya. Kini Putih berubah menjadi kucing yang bersih dan manis. Ia tidak lagi kumal, liar, dan sumber keributan. Sampai-sampai Tante Sali pangling melihatnya.
“Astaga… Ki, ini kan kucing jahat itu!” serunya terbengong-bengong. “Sudah lama ia tak mencuri lagi!”
“Soalnya Putih tak lapar lagi, Tante,” sahut Kiki. “Kiki memberinya makan.”
“Ih, baik begitu, Ki!”
“Kata Ibu, kucing juga mengerti bila disayang. Kalau Kiki mau baik dan sayang pada Putih, pasti Putih juga baik dan jinak.”
Lama Tante Sali termangu. Ia merasa disindir. la malu sekali. Bagaimana mungkin, selama ini ia bisa bersikap begitu kasar terhadap seekor kucing kecil yang kelaparan?
Sampai sini, sudah mulai paham belum dengan materi cerpen? Kalo masih ada poin-poin yang belum kamu mengerti, mending belajar sama ahlinya, deh. Belajar bareng kakak-kakak pengajar di Ruangguru Privat Bahasa Indonesia misalnya. Hehehe…
Belajar nggak cuma menyenangkan, tapi kamu juga bakal diajari konsepnya sampai paham! Para pengajar di Ruangguru Privat juga sudah terstandarisasi kualitasnya, loh. Kamu juga bisa pilih nih, mau diajarkan secara langsung (offline) atau daring (online). Fleksibel, kan? Untuk info lebih lanjut, cuss klik link berikut!
Contoh Tema Seminar Lingkungan Hidup Terbaru
Jika membahas tentang kesehatan lingkungan hidup, tentu kita semua setuju bukan bila masalah ini sebetulnya merupakan sebuah hal penting untuk selalu diingat juga diusahakan bersama. Dimana bisa dibilang jika tugas menjaga kelestarian lingkungan hidup sendiri pun umumnya juga adalah bagian dari tanggung jawab setiap manusia yang tinggal di bumi. Dan dikarenakan sudah menjadi salah satu hal wajib dalam hidup bermasyarakat yang kesadarannya perlu dipupuk sedini mungkin, tentu wajar saja bukan bila pada akhirnya banyak cara dilakukan sebagai upaya untuk mengingatkan masyarakat akan kesehatan lingkungan hidupnya tersebut.
Yang mana salah satunya adalah dengan cara pengadaan sebuah seminar bertemakan lingkungan hidup, karena dianggap bisa menjadi sebuah cara jitu untuk mengingatkan sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat akan kesehatan lingkungan hidup secara maksimal. Mengingat seperti kita ketahui bersama pula, jika kegiatan semacam seminar ini sendiri pun umumnya juga memang merupakan suatu jenis kegiatan dengan beragam variasi tema yang penyelenggaraannya cukup sering dijumpai, khususnya di Indonesia.
Oleh sebab itu, agaknya diantara banyaknya cara atau usaha untuk membangun kesadaran masyarakat akan kesehatan lingkungan hidup, memilih mengadakan suatu acara seminar bertemakan lingkungan hidup bisa menjadi sebuah keputusan paling tepat untuk dilakukan. Terlebih pada dasarnya seminar sendiri umumnya juga dapat diselenggarakan dengan mengangkat topik atau tema pembahasan tentang kesehatan lingkungan hidup secara lebih spesifik, seperti beberapa contoh tema seminar lingkungan hidup berikut ini:
Pendidikan lingkungan untuk generasi muda
Pendidikan lingkungan hidup untuk para generasi muda merupakan contoh tema seminar lingkungan hidup yang terakhir dan agaknya menjadi tema paling direkomendasikan karena dianggap memiliki manfaat luar biasa bagi kesehatan lingkungan hidup saat ini dan kedepannya.
Dimana pada tema ini kita dapat lebih berfokus pada peran pendidikan dalam meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang isu lingkungan di kalangan generasi muda, beserta strategi untuk mengintegrasikan pembelajaran tentang lingkungan hidup tersebut kedalam kehidupan sehari hari, agar nantinya dapat menjadi sebuah kebiasaan baik yang selalu diingat juga dilakukan.
Nah itu dia beberapa ide atau contoh tema seminar lingkungan hidup, lengkap dengan sedikit ulasan terkait tujuan serta manfaat diadakannya jenis seminar tersebut. Yang mana dari beberapa referensi juga pembahasan di atas, diharapkan nantinya anda dapat semakin merasa lebih dimudahkan untuk mencari tema seminar tentang lingkungan hidup seperti apa yang dirasa paling pas juga tepat untuk diangkat sebagai topik pembahasan utama seminar anda.
Tetapi perlu diingat kembali bila dalam penyeleggaraannya, agar acara seminar dapat terasa semakin menarik, tentu akan jauh lebih baik jika anda juga melibatkan para pakar yang berkompeten dalam bidangnya, misalnya seperti profesor, pakar ekologi, menteri lingkungan hidup, dsb sebagai pembicara. Dimana dengan menghadirkan para pakar tersebut secara langsung, dirasa dapat sekaligus memperkuat pemahaman para peserta akan tema pembahasan tersebut.
Namun selain menyiapkan kehadiran narasumber yang dianggap mampu untuk membuat berjalannya sebuah acara seminar menjadi menarik, ada pula hal lain yang ternyata juga bisa dilakukan untuk lebih mendukung keberhasilan acara seminar tersebut . Dimana hal ini umumnya berkaitan dengan yang namanya seminar kit atau bingkisan dalam bentuk barang fungsional, misalnya seperti tas sebagai wujud rasa terimakasih sekaligus apresiasi bagi para peserta seminar karena telah berpartisipasi dengan semangat.
Yang mana untuk mewujudkan adanya tas guna keperluan tersebut, agaknya akan baik bagi anda untuk mempercayakan kebutuhan tersebut pada sebuah jasa pembuatan tas custom seperti Karya Bintang Abadi. Mengingat dalam hal ini tas sendiri memegang peran penting dan diharuskan memiliki fungsionalitas tinggi. Oleh sebab itu sangat direkomendasikan bagi anda untuk mempercayakan kebutuhan tas tersebut pada Karya Bintang Abadi, karena dijamin seluruh tas pesanan anda akan memiliki detail tampilan terbaik, kualitas dan mutu terjamin, waktu pengerjaan cepat, serta harga affordable.
Jadi tunggu apalagi? Segera hubungi CS Karya Bintang Abadi untuk melakukan pemesanan tas guna segala keperluan komersil. Terlebih di Karya Bintang Abadi anda juga bukan hanya akan disugguhi tas dengan mutu unggul saja, melainkan juga pelayanan terbaik, berupa proses pemesanan aman juga cara pemesanan cepat dan aman yang dibantu oleh para customer service ramah juga sigap, baik secara online maupun offline.
Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca artikel kami, jangan lupa untuk share pada orang terdekat anda agar tidak ketinggalan berbagai informasi menarik serta up to date seputar tas. Semoga bermanfaat!
Cerpen berjudul Buku-Buku Kirana
Oleh: Laras Sekar Seruni
Kumpulan kata yang tersusun rapih merasakan sedikit getaran dari luar. Seseorang mengambil kumpulan kata tersebut yang sudah dijilid menjadi berbentuk sebuah buku. Kemudian ia merasakan tubuhnya berpindah tangan untuk kemudian diceritakan berapa harga yang harus orang itu bayar.
Lamat-lamat dirinya menyentuh sisi-sisi satu buah kantong berbahan kain. Katanya plastik semakin dilarang. Tidak masalah sebenarnya. Yang penting dia punya pemilik sekarang.
Setelah diintip ternyata yang membeli dirinya adalah seorang perempuan muda berusia sekitar dua puluh dua. Wajahnya biasa-biasa saja. Terlihat suka membaca dari kacamata merah tua yang tertahan di hidungnya.
Bukan hanya dirinya yang ada di kantong kain itu. Tapi ada beberapa yang ditumpuk-tumpuk sehingga sedikit sesak. Ia dan yang lain sudah biasa. Sejak tubuhnya rampung, ia sudah diperlakukan untuk saling tindih menindih satu sama lain.
“Aku sebuah mahakarya. Isiku disukai oleh seluruh orang di dunia. Tahukah kau, penciptaku mendapatkan nobel karena aku diterjemahkan lebih dari lima puluh bahasa?” ungkap salah satu dari tumpukan itu.
“Ya ya. Aku pernah mendengar tentangmu. Selamat ya,” balas buku yang berada satu tumpuk di atasnya, acuh tak acuh.
Ia hanya terdiam karena malas menanggapi. Sebenarnya bisa saja ia membanggakan dirinya karena berhasil meraih predikat best-seller sejak tiga hari setelah dirinya diterbitkan. Bangga benar rasanya menjadi salah satu yang dipuja-puja oleh banyak kalangan. Di dalam dirinya terungkap rahasia negara yang berhasil dikuak karena kebodohan si narasumber yang mabuk ketika diwawancara. Orang mabuk memang selalu jujur ketika berbicara meskipun agak melantur.
“Duh, Kirana. Kamu ini kerjanya membeli buku saja. Memang semuanya kamu baca?” suaranya menunjukkan orang itu sudah hidup sekitar setengah abad.
“Iya dong Bun. Aku lagi penelitian untuk skripsi,” jawab Kirana santai.
“Harusnya kamu simpan uang kamu untuk masa depan. Beli emas kek. Itu salah satu cara untuk berinvestasi,” Bunda memprotes anak gadis pertamanya.
“Buku juga salah satu bentuk investasi masa depan Bun,”
“Anak zaman sekarang itu kalau dinasihati bukannya patuh malah menjawab terus. Terserah kamu lah,”
“Bunda mau baca novel karangan Ayu Utami yang baru? Oh, aku juga beli bukunya Pramoedya yang sudah dicetak ulang. Harganya jadi mahal sekali,” kata Kirana
“Kamu ini bagaimana sih? Katanya sedang penelitian skripsi. Yang dibeli kok novel? Tidak ah. Bunda sedang malas baca,”
Tanpa kata lebih jauh, Kirana melengos di depan Bunda menuju kamarnya. Ternyata kamar Kirana dipenuhi buku-buku. Hanya ada lemari baju dan ranjang kapuk yang terasa sangat kecil di sudut ruangan. Buku-buku ini lebih banyak dari toko buku tempatnya dipajang dalam rangka promosi.
Ia diletakkan di antara buku-buku non fiksi. Tubuhnya terasa semakin sesak karena diapit sekitar puluhan tubuh lain. Namun dirinya senang karena sudah mendapatkan pemilik. Setelah ini ia akan menjadi sangat bermanfaat karena dirinya menceritakan kebenaran.
Tidak beberapa lama, Kirana kembali mengambil tubuhnya. Senangnya bukan kepalang. Ia merasa akan dijadikan yang pertama untuk dibaca dari buku-buku yang beberapa jam lalu bersamanya di kantong berbahan kain. Ternyata, ia bertemu kembali dengan buku yang diterjemahkan lebih dari lima puluh bahasa dan novel karangan Pramoedya. Rupanya Kirana akan membalut tubuhnya dengan sampul plastik agar lebih awet dan sampulnya tidak cepat kotor.
Ia sedikit kecewa sebenarnya. Namun tidak mungkin Kirana membelinya jika tidak dibaca. Maka ia akan setia menunggu hingga tiba gilirannya untuk disesap lembarannya satu per satu menggunakan jari-jari lentik Kirana.
Buku-buku Kirana hampir semuanya sombong. Jika Kirana sedang pergi kuliah, mereka membanggakan dirinya masing-masing. Ruangan terasa sangat riuh dan bising. Ia hanya diam saja karena merasa menyombongkan diri tidaklah penting. Bukankah setiap buku memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing?
Semakin hari buku-buku Kirana bertambah. Awalnya Kirana membeli buku seminggu sekali. Sekali membeli bisa sepuluh sampai dua puluh buku. Buku tentang apa saja. Kedokteran, politik, hukum, jurnalistik, novel, komik, bahkan majalah dan koran yang kabarnya merupakan sumber ilmu pengetahuan teranyar. Padahal Kirana mengambil jurusan Filsafat. Yang penting, Kirana merasa senang membeli buku-buku lain dari berbagai macam bidang.
Kemudian, kebiasaan Kirana membeli buku menjadi setiap hari. Lama-lama kamarnya semakin sesak. Bahkan Kirana sekarang tidur di atas tumpukan buku-buku yang tersusun setinggi kasur. Lemari bajunya pun sekarang diisi oleh buku-buku. Sedangkan baju-baju miliknya sebagian besar disumbangkan ke anak-anak yatim piatu. Kirana hanya memiliki tiga pasang baju yang ia kenakan untuk sehari-hari.
Kirana sampai lupa beramal uang. Uangnya sudah habis untuk beli buku. Padahal biasanya recehan di dompetnya Kirana sumbangkan untuk pengamen atau anak jalanan. Sekarang recehnya dia kumpulkan untuk membeli buku-buku obralan. Kirana juga keluar dari perkumpulan pecinta lingkungan yang mewajibkan anggotanya membayar seratus ribu per bulan. Kirana terkadang lupa makan. Uangnya habis untuk membeli buku-buku.
“Kirana! Kamu sudah keterlaluan, Nak! Uang kuliah itu untuk dibayarkan ke kampus kamu. Bukan untuk dibayarkan ke para penjual buku!” Bunda ternyata sudah naik pitam. Padahal jarang sekali Bunda marah-marah seperti ini.
“Kemarin ada diskon besar-besaran Bun. Sayang jika tidak membeli. Lagipula kalau buku-buku itu tidak laku, mereka akan dibakar karena akan memenuhi gudang. Jadi lebih baik aku beli kan?” Kirana masih menjawab santai.
“Kemarin, kemarin, kemarin, dan kemarinnya lagi maksudmu? Kamu kira Bunda tidak tahu kalau kamu membeli buku setiap hari?!
“Diskonnya memang setiap hari selama sebulan, Bun. Sudah ya. Kirana mau mandi dulu.”
Tidak lama Bunda meninggalkan kamar, suhu kamar Kirana tiba-tiba berubah. Rasanya begitu gerah. Semakin panas dan meluluhkan peluh di setiap buku-buku yang masih tersusun rapi.
Kemudian nyala merah dari ruangan depan merambat perlahan tapi pasti. Pintu kamar Kirana rubuh. Buku-buku itu berteriak panik minta diselamatkan. Namun tidak ada yang mendengar. Bunda sudah berlari keluar menyelamatkan nyawanya sendiri.
“Tolong! Tolong! Kebakaran!” terdengar lolongan Bunda di kejauhan.
Orang-orang ramai mengelilingi rumah Kirana. Masing-masing membawa ember berisi air. Ada juga yang membawakan kain basah. Mereka ramai-ramai membantu Bunda menyelamatkan rumah peninggalan suaminya.
Bunda lupa mengecek regulator gas elpiji. Ketika sedang memasak rendang, tiba-tiba gasnya meledak. Tentu saja ledakkan itu menciptakan percikan-percikan api yang kian detik kian merambat dan membesar. Bunda langsung menghambur keluar setelah menutup pintu kamar Kirana. Ketika itu apinya sudah melahap meja makan mahoni kesukaan Kirana.
Sekarang api itu semakin liar. Buku-buku Kirana meraung keras karena mulai merasakan tubuhnya diselimuti api. Tinta-tinta yang menghambur pasrah dilumat si jago merah bersama dengan kertas yang selama ini menjadi sandarannya.
Begitupun dengannya. Ia merasa sampul plastik yang dilekatkan tubuhnya oleh Kirana tidak berguna banyak. Malah sampul itu meleleh dan membuat kulitnya melepuh. Sia-sia saja ia berteriak untuk memohon agar api itu berhenti. Satu demi satu lembarannya semakin terkikis dan tubuhnya berubah menjadi abu.
Kepunahan terjadi dalam hitungan menit. Buku-buku Kirana habis menjadi santapan penguasa neraka. Yang ada tingal kenangan dan rentetan pengetahuan yang tercetak di kepala Kirana.
Ia bergeretak di tengah tumpukan kayu hangus bekas rumah Kirana. Tubuhnya mati. Begitupun dengan buku-buku lain di kamar Kirana yang sekarang tinggal puing. Namun nyawanya masih ada, membumbung mencari-cari Kirana. Ia merindukan perempuan itu.
Sedangkan Bunda dan dua anaknya yang lain tinggal di rumah tetangga sambil menanti kepulangan Kirana. Kurang dari sehari, Kirana tiba. Tubuhnya hampir ambruk ketika menemukan tumpukan buku-bukunya sudah menjadi debu.
Kirana meraup sisa-sisa kertas yang lapuk sebelum waktunya. Kirana menjerit dengan rintihan tertahan. Batinnya terluka karena kehilangan barang-barang kesayangannya. Buku-bukunya habis tak bersisa.
Ia menemukan Kirana. Arwahnya membelai lembut rambut Kirana. Ia membisikkan kata-kata yang tidak berhasil Kirana dengar. Setidaknya, ia sudah mengungkapkan perasaannya kepada Kirana.
“Aku mencintaimu, Kirana. Meskipun banyak jenisku yang juga kamu cintai, namun aku merasa menyatu ketika bersamamu,” ujarnya dibantu hembusan angin pagi.
Ternyata di antara deburan abu yang bertumpuk sendu, tersembunyi satu buku yang tidak tersentuh api. Kirana melihatnya dan terpana. Air matanya kembali tumpah karena merasa bersalah lama melupakan buku berisi kumpulan ayat-ayat suci itu.
“Buku Kirana sekarang tinggal ini,” kata Kirana lemah kepada Bundanya.
Bunda tersenyum simpul meski hatinya tetap terluka, “Tidak apa-apa, Nak. Bunda rasa buku itu cukup untuk membantumu menyelesaikan skripsi.”
Ia mendesah pasrah ketika Kirana tidak membalas cintanya. Arwahnya kembali terbang terbawa angin menuju peraduan yang entah berada dimana.***
Connection error, try again later!
Datetime: Saturday, 14 December 2024 02:07:47IP Address: 2a01:4f9:1a:9891::2Browser: python-httpx/0.28.1
TRIBUNKALTARA.COM - Lihat kumpulan pantun nasihat menjaga Lingkungan berikut, untuk meriahkan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2024.
Setiap tanggal 5 Juni, diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia, peringatan ini mengingatkan kita untuk selalu mencintai bumi dan Lingkungan sekitar.
Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk turut serta memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia, salah satunya dengan membagikan pantun ajakan menjaga Lingkungan.
Kumpulan pantun ini penting untuk memberikan edukasi pentingnya menjaga alam dan Lingkungan sekitar.
Sejumlah pantun tema lingkungan ini dapat menjadi pengingat agar kita tidak terus menerus merusak Lingkungan, karena dampaknya akan terasa di masa depan nanti.
Karenanya, gunakan deretan pantun tema lingkungan ini dan sebarkan lewat sosial media.
Kamu juga bisa mengunggah pantun ini sebagai caption baik di Instagram, TikTok, WhatsApp, ataupun Twitter.
Baca juga: 31 Ide Pantun Tema Sampah, Referensi Poster Kampanye Peduli Lingkungan, Bagikan lewat Sosial Media
Yuk simak pantun tema lingkungan selengkapnya berikut ini yang dikutip oleh TribunKaltara.com dari berbagai sumber.
Pantun Tema Lingkungan
1. Pergi ke pasar berjumpa preman,Lalu ditolong seorang teman.Jika Lingkungan bersih dan aman,Maka kehidupan terasa nyaman.
2. Pasang pagar diberi kawat,Pagar berduri yang sangat kuat.Bumi kita harus dirawat,Agar memberi banyak manfaat.
3. Ada besi, ada tembaga,Pisang dimakan seekor kera.Jika bumi tidak dijaga,Bencana datang tiada terkira.
4. Tiang rumah harus dipasak,Biar kuat dan tidak bergerak.Bila Lingkungan kita rusak,Maka penyakit semakin marak.
5. Di Papua ada suku asmat,Banyak wisatawan melihat-lihat.Mari berperilaku secara cermat,Agar Lingkungan menjadi sehat.
Baca juga: 17 Pantun Tema Stop Bullying, Yuk Bagikan untuk Cegah Aksi Perundungan di Lingkungan Sekolah
Suka baca cerpen? Yuk, lihat beberapa contoh cerpen singkat dan menarik, beserta pengertian dan strukturnya di artikel Bahasa Indonesia kelas 9 berikut ini!
Sejak kecil, kamu pernah membaca cerita-cerita pendek mengenai putri dan pangeran, nggak? Semua cerita itu sangat seru dan membekas di ingatan sebagian besar orang hingga sekarang. Yap, cerita pendek atau cerpen memang seperti memiliki kekuatan sihir yang membuat kita sulit lupa.
Tapi, tahukah kamu apa itu cerpen? Lalu, cerita seperti apa yang dapat kita katakan sebagai cerpen? Nah, supaya nggak bingung, simak pengertian, struktur, beserta contoh cerpen singkat dan menarik berikut ini!
Cerpen atau cerita pendek adalah cerita yang menurut wujud fisiknya berbentuk pendek. Selain itu, cerpen juga hanya memuat satu alur cerita. Ukuran panjang pendeknya suatu cerita memang relatif. Namun, umumnya cerpen merupakan cerita yang habis dibaca sekitar 10 hingga 30 menit. Jumlah katanya sekitar 500–10.000 kata. Maka dari itu, cerpen sering juga disebut sebagai “cerita yang dapat dibaca dalam sekali duduk”.
Biasanya, cerpen mengangkat persoalan kehidupan manusia secara khusus. Tema cerpen berasal dari persoalan keseharian hingga ke renungan yang dipotret dari kehidupan nyata. Namun, tokoh dan latar bisa direkayasa demi kepentingan keindahan cerita sekaligus membedakannya dari teks pengalaman nyata.
Ciri cerpen juga ditandai dengan jumlah karakter yang relatif kecil. Nah, unsur yang ada pada cerpen adalah tema, tokoh dan penokohan, latar, alur dan plot, sudut pandang, amanat, dan gaya bahasa. Cerpen juga memiliki memiliki struktur dalam penulisannya.
Baca Juga: Mengupas Cerpen: Pengertian, Ciri-Ciri, Fungsi, Struktur, dan Analisisnya
Dalam artikel ini, kita akan fokus membahas tentang struktur yang dimiliki oleh cerpen. Apa aja sih struktur cerpen? Perhatikan di bawah ini ya.
Sudah tahu belum, di Aplikasi belajar Ruangguru, ada fitur Drill Soal yang berisi kumpulan contoh soal latihan beserta pembahasannya, loh. Pas banget kan buat mempersiapkan diri kamu dalam menghadapi ujian nanti. Yuk, klik banner di bawah ini untuk coba fitur Drill Soal!
Struktur cerpen terdiri dari orientasi, rangkaian peristiwa, komplikasi, dan resolusi. Nah, untuk penjelasan lebih lengkapnya, ada di bawah ini!
Di bagian ini, kamu akan menemukan pengenalan para tokoh, menata adegan, dan hubungan antartokoh.
2. Rangkaian Peristiwa
Kisah akan berlanjut melalui serangkaian peristiwa satu ke peristiwa lainnya yang tidak terduga.
Kemudian, cerita akan bergerak menuju konflik atau puncak masalah, pertentangan, atau kesulitan-kesulitan bagi para tokohnya yang memengaruhi latar waktu dan karakter
Bagian ini akan menceritakan solusi untuk masalah atau tantangan yang dicapai telah berhasil. Pada bagian ini, kamu juga akan mengetahui bagaimana cara pengarang mengakhiri cerita.
Oke, setelah kita mengulas kembali mengenai pengertian dan struktur cerpen, berikut ini ada beberapa contoh cerpen singkat. Kita baca sama-sama, yuk!
Cerpen berjudul Ziarah
Oleh: Dewi Kharisma Michellia
Begitu tertera pada dua kayu nisan yang tertancap di puncak bukit pagi itu. Dengan cuaca yang sama, dua puluh tahun lalu, aku ingat betul, aku hampir tak mengenali separuh orang yang berdiri mengelilingiku di bawah payung-payung gelap mereka.
Melintasi sepanjang jalan setapak kembali ke rumah, aku ingat bagaimana aku dibawa pergi oleh mobil-mobil panjang besar, oleh orang-orang yang belum genap sehari kukenal. Tengah malam di waktu sebelumnya, keluarga bibi yang tinggal di sebelah rumah—satu-satunya tetangga yang ketika itu dekat dengan keluargaku—mengantarkan mereka kepadaku. Masih separuh terjaga di sebelah peti mati kedua orang tuaku, aku mendengar percakapan mereka, namun tidak kuteruskan.
Mereka menghampiriku dan memperkenalkan diri sebagai kerabat dari pihak ayah, tempatku berlindung setelah segala prosesi pemakaman orangtuaku berakhir. Saat itu aku sungguh takut.
Masih kuingat betul apa yang menyebabkan kedua orangtuaku berpulang. Saat mendapat kabar, sepulang dari berburu kelinci bersama teman-teman sebaya, aku berlari menyusuri jalan setapak berkilo-kilometer jauhnya, hanya untuk memastikan aku masih bisa menyelamatkan kedua orangtuaku.
Saat aku datang, api telah melahap gudang tempat ayahku biasa bekerja. Aku berkeliling ke dalam rumah, mencari ibu. Kudapati, para tetanggaku berusaha memadamkan api dengan baskom-baskom kayu berisi air. Beberapa dari mereka bilang ibuku juga terperangkap di dalam rumah.
Segala upayaku untuk dapat mencapai gudang digagalkan. Mereka berbondong-bondong memelukku dan menghentikan niatku menerobos api. Mereka menghentikan segala teriakanku dan mendekapku seerat mungkin.
Api akhirnya padam berjam-jam kemudian, dan yang kudapati sesudahnya hanyalah tengkorak ayah dan ibuku dengan sedikit sisa daging dan kulit yang terbakar, mereka terikat saling memunggungi pada tiang besi yang sebelumnya tak pernah kulihat. Satu yang kutahu. Pastilah Tuhan tidak dengan sengaja meletakkan besi di sana dan memanggang kedua orang tuaku di gudang itu. Pasti ada orang lain yang melakukannya.
Kurasa pekerjaan ayahkulah yang menyebabkan hal itu terjadi. Hingga kini, aku tak mengerti apa yang dilakukan ayah di ruang kerjanya, padahal dulu ibu pernah bilang suatu saat aku akan tahu.
Hari ini, memasuki ruang tengah, sepenjuru rumah kayu itu telah dipenuhi tumbuhan merambat. Padahal dulu di sana aku pernah duduk, menantang dengan dada membusung, berhadapan dengan orang-orang yang tak kukenali siapa.
“Kami akan mengajakmu kembali.” Masih kuingat seorang pria jangkung berkulit bersih dengan kacamata bergagang bulat duduk di tengah-tengah, berhadap-hadapan denganku. “Di sana kakek dan nenekmu menunggu. Keluarga besar akan menghidupimu.”
Aku tak pernah tahu kakek-nenekku masih hidup. Ayah dan ibu tidak pernah menceritakan apa pun tentang masa lalu mereka, selama belasan tahun di awal hidupku, aku menerima kenyataan itu begitu saja; seolah orangtuaku benar terlahir dari batu.
“Saya tidak percaya.”
“Kami tahu kamu perlu bukti. Ayahmu dan istrinya mengasingkan diri mereka kemari segera setelah ayahmu menamatkan kuliah di Belanda. Dalam dokumen ini kamu bisa menemukan segala hal tentangnya.”
Saat itu ia menjetikkan jari dan beberapa orang pesuruh masuk ke dalam ruangan dengan mengangkat peti-peti besi di pundak mereka. Semuanya kemudian diletakkan di hadapanku.
Pria itu sedikit memundurkan badannya dan membukakan gembok yang mengunci peti dengan kunci kecil dari dalam sakunya, menunjukkan semua dokumen tentang kehidupan ayahku.
Aku terkesima. Ayahku bukan orang biasa.
Aku membaca beberapa potongan kliping koran yang bercampur dengan dokumen pribadi ayahku, aku membaca pemberitaan mengenai orang tuaku. Tentang hilangnya dua tokoh penting dalam sejarah kemerdekaan. Mereka. Mereka mengasingkan diri ke tengah hutan segera setelah peristiwa gestapo terjadi. Dua tahun setelahnya, aku lahir. Bahkan ketika itu aku bisa mengerti, mulai bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya dikerjakan ayah? Ibu seperti apa yang melahirkanku dari rahimnya? Mereka melakukan…. Hal-hal yang, aku tak tahu apa dasarnya.
Segalanya seolah benar-benar menjadi mimpi ketika pria itu berkata, “Kami rasa kamu tidak akan punya pilihan lain, selain ikut bersama kami.”
Mulailah aku didandani selayaknya perempuan pada umumnya. Gaun berpita, sepatu balet warna hitam, dan kalung mutiara. Rambutku yang biasanya kugelung lantas disisir dan diikat pita. Aku dibedaki dan bibirku diberi gincu, pipiku merona merah akibat sapuan pewarna pipi, dan alisku dibentuk.
Setiap hari aku mendapatkan materi tambahan di rumah. Diajari cara memanah, bertata krama, dan ekonomi serta politik negara. Terkadang, aku juga bermain-main dengan tabung dan botol-botol berisi zat kimia. Sesuatu yang orang-orang pikir pastilah dapat saja menurun dari kedua orang tuaku. Baru kutahu, kedua orang tuaku adalah Kimiawan. Senyatanya, hingga berminggu-minggu setelah mereka memberikan pendidikan itu padaku, aku tetap tak menunjukkan bakat apa pun.
Selain pendidikan yang diberikan di rumah, aku tidak lagi bersekolah di HIS, di mana para bumiputera biasa duduk belajar bersama keturunan Belanda, kali ini aku pergi ke ELS, tempat di mana peranakan Cina sepertiku, menurut keluargaku—aku tak lagi asing terhadap mereka, patut pergi menapasi ilmu. Di depan cermin kuamini pernyataan mereka, kulitku memang kuning langsat dan mataku sipit, baru kusadari setelah aku tinggal bersama mereka.***